Memahami Kepercayaan


      Kepercayaan didapatkan oleh seorang pemimpin karena berbagai hal. Di dalam pelayanan, semakin besar percaya seorang pemimpin pada Tuhan semakin ia mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Ia juga semakin memiliki percaya diri yang besar.
Percaya kepada Tuhan bukanlah sekedar paham dan terkesan pada kuasa dan rencana Tuhan. Seorang yang percaya Tuhan berarti orang itu berani mempercayakan diri pada Tuhan. Mempercayakan diri berarti menyerahkan kendali kepadaNya baik untuk masalah jadwal waktu, sumber daya, dana, dan juga untuk proses kerja.
         Apakah lawan dari percaya pada Tuhan? Lawannya adalah hidup dalam kecemasan atau ketakutan. Orang yang cemas dan takut, tidak berani mempercayakan diri pada Tuhan walaupun mereka tahu akan keberadaan dan kuasaNya. Hal ini terjadi karena mereka merasa tidak mampu melihat dan memegang Tuhan yang tidak kelihatan. Selain itu mereka juga takut kalau-kalau keputusan Tuhan tidak searah dengan kepentingan mereka. Karena itu, mereka akan mencari sumber kepastian dan kuasa yang lain. Biasanya hal ini didapatkan pada nama, gelar, pendidikan, atau kekayaan.

Spiritualitas dan Ketakutan: Siapa takut?

There is nothing to fear but fear --- two—three--- four
(Walking in the Lord ---------Young Life Song)

      Istilah “siapa takut” lahir dalam tahun 2001 sebagai salah satu slogan yang muncul di iklan dan menjadi popular. Orang menggunakannya dimana saja dan untuk peristiwa apa juga. Ketika seorang remaja diajak berkemah di lereng gunung Merapi yang sedang batuk-batuk, ia menjawab dengan acuh tak acuh “siapa takut?” Ketika seorang pria setengah baya ditantang meluncur dari ketinggian 30 meter di Water Boom di Denpasar, ia tersenyum kecut namun menjawab: “Siapa takut.”
Slogan “siapa takut” menjadi kalimat yang diadopsi dalam komunikasi di masyarakat karena ketakutan dianggap sebagai suatu kenyataan hidup yang tidak pernah sepenuhnya meninggalkan kehidupan manusia. Namun, pernahkah Anda mempersoalkan dari mana asalnya manusia dapat mengalami ketakutan. Dari mana kita belajar untuk takut? Lalu apa dampak ketakutan bagi hidup kita, terutama untuk hidup spiritual?

Siapa takut dan Kenari kecil di Otak

       Mungkin manusia tidak akan mengalami takut bila ia tidak memiliki Amygdala. Dari waktu-ke-waktu, benda sebesar biji kenari ini membuat manusia memproses apa yang ada di sekitarnya secara cepat dan juga sekaligus berespons dengan cepat. Karena Amygdala lah, Anda tidak memeriksa dengan seksama benda loreng-loreng yang bergerak di tanah ketika Anda berjalan di kebun, namun segera lari menjauh sambil menjerit “Ular.” Karena Amygdala lah Anda segera lari keluar dari gerbong kereta api ketika lokomotif mengeluarkan asap terlalu tebal dan percikan api. Karena Amygdala juga Anda menghunus sebilah golok ketika empat orang di malam buta mengetuk rumah Anda. Dengan kata lain, menurut para ahli biologi, ketakutan memang merupakan basic feature atau fitur dasar manusia. Potensi untuk takut inilah membuat manusia sebagai species bertahan hidup, mampu menyelamatkan diri, dan membuat sistem bela diri karena Amygdala cenderung membuat manusia memberikan respons fight or flight (berkelahi atau lari).
Harus dicatat disini bahwa Amygdala merupakan bagian dari potensi manusia untuk mengalami ketakutan, namun objek ketakutan perlu dipelajari. Artinya manusia tahu harus fight atau flight hanya karena pendidikannya. Baby Bink tidak memiliki ketakutan karena ia belum diajari lingkungannya untuk mengenali apa yang wajar untuk ditakuti.

      Baby Bink adalah bayi berusia 10 bulan, lahir di keluarga kaya yang memiliki dana dan perusahaan yang sangat terkenal. Mendadak tiga orang penjahat menculik bayi ini. Demikian film ini memulai alur ceritanya yang lucu. Mengapa lucu? Selama beberapa saat sebelum diculik sang bayi terus menerus dididik pengasuhnya sehingga ia mendengar cerita dari sebuah buku anak mengenai apa itu kebun binatang, taxi, bis kota, dan polisi. Ketika kedua orang tuanya mengalami kesedihan dan kepanikan atas hilangnya si kecil, bayi ini sendiri tanpa takut, merangkak meninggalkan rumah penculiknya dan menyeberang jalan tol. Untuk apa? Ia ingin melihat kebun binatang, taxi, dan merasakan bis kota.

      Tentunya sutradara film ini mencegah sang tokoh ini ditabrak mobil atau truk. Kemudian tanpa takut, diperlihatkan juga si kecil memasuki kebun binatang dan tidur di pelukan seekor gorilla raksasa. Ketika tiba di sebuah bangunan yang sedang didirikan, bayi ini merangkak ke sebuah bak yang kemudian dikerek tinggi. Sementara para penculiknya mengalami shock kehilangan sandera, si bayi terkekeh-kekeh, tidak merasa takut bergoyang di ketinggian 50 meter di atas tanah. “Siapa takut?”

Satu-satunya ketakutanku adalah aku takut untuk tidak merasa takut

      Sementara para biolog meneliti rasa takut, para ahli ilmu jiwa menyatakan bahwa takut sendiri merupakan hal wajar dan sehat-sehat saja untuk dialami. Namun, mereka juga memperjelas hal itu dengan melanjutkan pendapat tadi dengan menyatakan bahwa ada dua macam ketakutan. Pertama, adalah ketakutan atas ancaman yang wajar dan realistis. Misalnya, cukup wajar untuk takut untuk menyeberang jalan di tengah malam gelap, dengan mata tertutup ketika kita menggunakan baju hitam walaupun lalu lintas tidak seramai di siang hari. Juga wajar untuk takut ketika seorang preman emukul kap mobil kita dengan mata melotot.

      Kini ada rasa takut yang kedua. Orang mengalami takut untuk hal yang dipersepsinya sebagai ancaman. Padahal, secara nyata hal itu sangat tidak mungkin terjadi. Jadi tidak wajar bila kita merasa takut kalau-kalau, Osama Bin Laden akan menculik anak kita dari taman kanak-kanak Kristen. Juga tidak wajar bila kita masih takut menjadi miskin bila laba bersih perusahaan kita selama 10 tahun terakhir tidak pernah kurang dari angka 50 milyar rupiah. Lebih tidak wajar, bila orang menolak menjadi ketua Sinode GKI karena takut dibunuh oleh Amsori dan Imam Samudra.
Sebaliknya juga tidak wajar bila dengan enteng kita mengatakan “siapa takut” ketika kita melakukan Bungee Jumping dari ketinggian 40 meter dengan menggunakan tali raffia atau bahkan tanpa tali sama sekali. Jadi bagi para psikolog, ketakutan yang wajar atau tidak, dikaitkan dengan akurasi seseorang dalam memetakan realita yang ada.

Bagaimana ketakutan dari kacamata spiritual?

     Dalam lingkup atau domain spiritualitas kita patut berani bertanya mengenai “mengapa” atau makna sesuatu. Karenanya, dari masukan biologi dan psikologi, kita bertanya, mengapa manusia memiliki kodrat untuk dapat merasa takut, dan mengapa ada orang yang mengalami ketakutan yang tak wajar? Apa makna ketakutan yang Tuhan ingin kita hayati?

     Ketakutan sebagai bagian kodrat manusiawi memang bermakna sangat mendalam. Alkitab berbicara banyak mengenai ketakutan. Isak yang berada di Gerarm negeri orang Filistin, membohongi orang banyak dengan mengatakan bahwa Ribka, istrinya adalah adik kandungnya (Kejadian 26: 7). David lari ke kota Gadt ketika di kejar Saul dan berpura-pura menjadi orang gila karena takut dibunuh orang di negeri itu (1 samuel 21: 12). Alkitab menunjukkan banyak contoh lain:
Ada orang takut kehilangan istri, anak, atau siapa saja yang disayanginya, dan ada yang juga takut kematian, peperangan, perbudakan, bencana alam atau ada juga yang takut pada tempat-tempat tertentu. Manusia lain, binatang buas dan berhadapan dengan Allah juga dapat membuat orang mengalami ketakutan seperti ketika Musa berhadapan denganNya di gunung Sinai ( Kel 34:30), juga Yoshua, atau Samuel mengalami hal yang serupa.Namun di atas semua contoh yang ada, di dalam Perjanjian lama disebutkan kata “jangan takut” sebanyak 75 kali. Yesaya 41:10 sangat jelas mengatakan hal itu dengan alasan yang juga jelas: “Karena Aku akan menyertai engkau…”
Di dalam Perjanjian Baru, tema takut akan Tuhan merupakan tema yang menonjol. Namun di dalamnya ada nuansa yang berbeda dengan ketakutan yang telah dijelaskan di atas. Dalam bahasa Indonesia, lebih tepat dinyatakan bahwa bagi Perjanjian Baru ada rasa takut yang berlandaskan tertekan, dan ada rasa takut yang terkait dengan hormat dan mengenali kuasa dan keagungan Tuhan.
Refleksi spiritual mengenai adanya ketakutan sebagai bagian dari kodrat manusia menunjuk bahwa seorang manusia dapat memilih untuk memberikan dua respons yang berbeda terhadap realita dimana ia hidup. Respon pertama adalah respons yang bertumpu pada takut. Dengan kata lain, manusia dapat menjalani hidup dan berespons berdasarkan ketakutan. Artinya, sadar atau tidak ia memilih respon serupa itu sebagai cara ia menjalani kehidupan: merasakan, memikirkan dan melaksanakan tindakan-tindakan terutama dengan berlambarkan ketakutan.


SELF- PRESERVATION

       Motivasi dasar dari respons seperti di atas sesuai dengan fungsi Amygdala adalah untuk self-preservation atau menjaga kelestarian diri. Mungkin ketakutan ini membuatnya kerja lebih keras, belajar lebih banyak, dan berjaga-jaga dengan sungguh-sungguh. Namun, ketakutan dan semua hal yang terkait dengannya tidak menghasilkan orang yang menghayati damai sejahtera (Shalom), atau yang menumbuhkan potensinya secara maksimum, atau yang dapat mengasihi diri dan orang lain secarah utuh. Tidak jarang, orang yang membiasakan hidup berdasarkan ketakutan akhirnya menjadi sangat egosentris tanpa ia sadari.
       Lebih lanjut lagi, tidak jarang suatu komunitas dan organisasi mengalami hal serupa. Segala cara akan dibuat untuk memastikan self preservation. Tidak jarang entitas ini menjadi ekslusif dan mengalami stagnasi atau pembusukan yang sulit diubahkan.

    Jadi, akibat dari hidup dengan respons pertama ini, manusia sulit memahami potensi-potensinya secara utuh sesuai yang Tuhan rancangkan. Sulit pula baginya untuk menikmati hidup secara penuh walaupun ia memiliki berbagai kenyamanan dan kekuatan daya beli yang tinggi untuk memperolehnya. Yang lebih nyata adalah ia sulit memberikan kepercayaan pada orang lain, dan bahkan sukar baginya mempercayai dirinya sendiri.

     Respons kedua yang dapat dipilih seorang manusia adalah respon bukan berlandaskan ketakutan tapi berdasar “percaya.” Percaya bukan hanya perasaan. Percaya juga bukan cuma hasil kalkulasi nalar. Percaya artinya adalah keberanian untuk lebih dekat dengan Tuhan, untuk belajar lebih mengalami “keheranan”, untuk meraih orang lain dan bergandingan dengannya, serta lebih menikmati dan mengalami anugerahnya secara penuh. Manusia ini yang memilih untuk hidup sesuai potensi untuk memahami, merasakan, dan bertindak yang tidak berlandaskan ketakutan, akan memiliki kebijaksanaan, keindahan dan kekuatan dalam kehidupannya. Lebih indah lagi ia akan memiliki kepekaan akan kehendakNya.

      Jadi, dari kajian spiritualitas, Tuhan, Sang Pencipta dan Pemberi kepulihan sendiri memberikan kemungkinan dan pilihan di atas. Sepanjang jalan, pilihan harus diambil. Namun seorang yang serius dalam ziarah spiritualnya, terus menerus belajar sehingga mampu memberikan respons yang berdasarkan kepercayaan. Kesimpulan: dalam hidup spiritual kita dapat memilih untuk hidup dalam percaya, berarti mempercayakan diri pada Tuhan lebih penuh dan terus menerus mengupayakannya, atau hidup untuk self-preservation terus menerus. Dalam hal ini, ketakutan dari kaca mata spiritualitas adalah suatu persoalan relasional. Artinya, apakah kita lebih memprioritaskan hubungan dengan Tuhan atau lebih mendahulukan hubungan dengan sumber ketakutan kita. Orang yang hidup dalam ketakutan lebih mendahulukan memperhatikan, merasakan, dan bertindak untuk menangani hal itu. Jadi ketakutan menjadi Allah bayangannya. Orang yang hidup dalam percaya, berarti memprioritaskan Tuhan dalam pemahaman, perasaan dan tindakannya. Pilihan pertama membawa pada stagnasi dan pembusukan spiritual, pilihan kedua membawa pada keindahan hubungan dan perjumpaan dengan Nya.

Siapa takut untuk Mencoba?

      Mulailah kita memeriksa musuh kita, yaitu jenis-jenis ketakutan spiritual. Memang ada berbagai jenis-jenis ketakutan
Ketakutan untuk mengalami hubungan yang mendalam dengan orang lain: ketakutan ini membuat kita terintang mendapatkan apa yang justru paling kita inginkan. Akar dari ketakutan ini adalah kegagalan spiritual untuk memahami pemulihan Tuhan dan tugas untuk saling mengasihi
Ketakutan neurotis: seseorang takut karena merasa diri sebagai tidak berguna dan tidak penuh cinta. Apa yang ia lakukan hanyalah demi mendapatkan pengakuan, penerimaan, penghargaan dan cinta orang lain. Derivatif dari ketakutan ini adalah ketakutan untuk gagal, kalah bersaing, tidak berprestasi dan mengalami malu. Akar dari ketakutan ini adalah kegagalan menghayati kasih Tuhan dan keselamatan yang Ia berikan
       Ketakutan dalam bentuk ke-pasif-an. Orang ini takut bertindak, mengambil keputusan, mengambil resiko, apalagi membuat terobosan. Ia melakukan hal ini karena ia memiliki harga diri yang rendah. Akar dari ketakutan ini adalah kegagalan memahami kuasa Tuhan.
Ketakutan yang muncul dalam bentuk ketidaksabaran: orang yang memiliki hal ini takut untuk menanti, duduk diam, merenung dan percaya pada pemeliharaan Tuhan, ia ingin segala sesuatu berjalan menurut jadwalnya, menurut polanya, dan menurut intensitasnya. Sering kali dengan cara ini ketakutannya tadi membuat orang menjauh dari dirinya. Akar dari ketakutan ini adalah kegagalan untuk memahami penyerahan diri dan jadwal Tuhan.
     Ketakutan untuk mendengarkan orang lain: ketakutan ini datang dari kegagalan untuk berani berubah dan mengambil resiko lebih. Dapat juga datang dari keinginan untuk mempertahankan kenyamanan cara kerja, pola pikir, keamanan karena dana besar, dan sebagainya. Akar dari ketakutan ini adalah kegagalan memahami orang lain sesuai dengan keunikannya. Dapat juga akar ini terkait dengan kecenderungan untuk menjadi tiran spiritual.
Apalagi ya : …… (saya tidak takut mengakui bahwa saya tidak tahu semua jenis ketakutan yang lain).

Percaya: Satu Jenis?

Kita telah menjelaskan ketakutan dengan panjang lebar untuk mempermudah kita memahami kepercayaan. Namun, apa itu kepercayaan akan lebih sulit dipaparkan secara lebih mendalam daripada bahasan tentang ketakutan. Semakin banyak kalimat yang ditulis dan dibicarakan seringkali membuat esensi tentang hal ini malah terluputkan. Untuk mencegah kehilangan berbagai dimensi tentang percaya, maka sebuah cerita mungkin dapat menjadi alat untuk mulai menelusuri kekayaan makna dari “percaya.”

Kalung Mutiara

Alkisah ada seorang gadis cantik, kecil berusia tujuh
tahun, bermata indah. Suatu hari, ketika ia dan ibunya
sedang berbelanja di Mal, gadis cilik itu melihat
sebuah kalung mutiara tiruan.
Benda ini terlihat indah, meskipun
harganya hanya 25 ribu rupiah. Anak ini sangat ingin memiliki kalung
tersebut dan mulai merengek kepada ibunya.
Akhirnya sang ibu menyetujuinya. Katanya : "Baiklah, anakku.
Tetapi ingatlah bahwa meskipun kalung itu sangat
mahal, ibu akan membelikannya untukmu. Tapi nanti, sesampai
di rumah, kita buat daftar pekerjaan yang harus kamu
lakukan sebagai gantinya. Dan, biasanya kan Nenek
selalu memberimu uang pada hari ulang tahunmu. Itu
juga harus kamu berikan kepada ibu."
Si gadis berpikir sejenak, lalu berkata "Okay.”
Merekapun lalu membeli kalung tersebut. Setiap hari,
sang gadis dengan rajin mengerjakan pekerjaan yang
ditulis dalam daftar oleh ibunya. Uang yang diberikan
oleh neneknya pada hari ulang tahunnya juga
diberikan kepada ibunya. Tidak berapa lama,
perjanjiannya dengan ibunya pun selesai.
Kini ia mulai mengenakan kalung barunya dengan rasa sangat bangga.
Kemanapun ia pergi. Ke sekolah taman
kanak-kanaknya, ke gereja, ke supermarket.
Ketika ia bermain, berjalan-jalan, bahkan tidur,
kecuali mandi.
"Nanti lehermu jadi hijau," kata ibunya.
Gadis kecil ini juga memiliki seorang ayah yang
sangat menyayanginya.
Setiap menjelang tidur,
sang ayah akan membacakan sebuah buku cerita untuknya.
Suatu hari, seusai
membacakan cerita, sang ayah bertanya kepadanya :
"Anakku, apakah kamu sayang ayah?"
"Pasti, yah. Ayah tahu betapa aku menyayangi ayah."
"Kalau kau memang
mencintai ayah, berikanlah kalung mutiaramu padaku."
"Ya, ayah, jangan kalung ini. Ayah boleh ambil
mainanku yang lain. Ayah boleh ambil Bonnie, bonekaku
yang terbagus. Ayah juga dapat ambil pakaian-pakaiannya yang
terbaru. Tapi, jangan ayah ambil kalungku."
"Ya, anakku, tidak apa-apa. Tidurlah." Sang Ayah lalu
mencium keningnya dan pergi, sambil berkata: "Selamat
malam, anakku. Semoga mimpi indah."
Seminggu kemudian, setelah membacakan cerita, ayahnya
bertanya lagi: "Anakku, apakah kamu sayang ayah?"
"Pasti, Yah. Ayah kan tahu aku sangat mencintaimu."
"Kalau begitu, boleh ayah minta kalungmu?"
"Ya, jangan kalungku, dong. Ayah ambil Koki, kuda-kudaanku.
Ayah masih ingat, kan? Itu mainan favoritku. Rambutnya
panjang, lembut. Ayah bisa memainkan rambutnya,
mengepangnya, dan sebagainya. Ambillah, Yah. Asal ayah
jangan minta kalungku. Ya?"
"Sudahlah, nak. Lupakanlah," kata sang ayah.
Beberapa hari setelah kejadian tadi, si gadis cilik terus
berpikir, kenapa ayahnya selalu meminta kalungnya, dan
kenapa ayahnya selalu menanyai apakah ia sayang
padanya atau tidak. Beberapa hari kemudian, ketika
ayahnya membacakan cerita, dia duduk dengan resah.
Malam itu, ketika ayahnya selesai membacakan cerita, dengan bibir
bergetar ia mengulurkan tangannya yang mungil kepada
sang ayah, sambil berkata: "Ayah, terimalah ini".
Ia lepaskan kalung kesayangannya dari genggamannya,
dan ia melihat dengan penuh kesedihan, kalung tersebut
berpindah ke tangan sang ayah.
Sang Ayah tersenyum. Dengan satu tangan
Ia menerima kalung mutiara tiruan kesayangan anaknya,
Dan dengan tangan yang lainnya, Ia mengambil sebuah
kotak beludru biru mungil dari saku bajunya.
Di dalam kotak beludru itu terletak seuntai kalung mutiara
yang asli, sangat indah, dan sangat mahal.
Ia telah menyimpannya begitu lama, untuk anak yang
dikasihinya. Ia menunggu dan menunggu agar anaknya mau
melepaskan kalung mutiara plastiknya yang murah dari lehernya,
sehingga ia dapat mengalungkan kepadanya kalung mutiara yang asli.

Dari cerita tadi dapat ditarik kesimpulan kita mengenai kepercayaan. Kepercayaan adalah buah suatu hubungan dan bukan buah dari suatu perhitungan-perhitungan saja. Kepercayaan menghasilkan hubungan yang lebih dalam atau keintiman. Kepercayaan juga berarti kesediaan meninggalkan kenyamanan, kesediaan untuk mengambil resiko, serta menempuh alur pendakian iman yang tidak biasa. Lebih lanjut lagi kepercayaan menghasilkan kedekatan khusus yang membuat orang lebih memahami rancanganNya. Sebaliknya ketakutan tidak menghasilkan kepekaan pada kehendak Tuhan, hanya melahirkan kepekaan pada ketakutan-ketakutan baru.
1

Menghadapi Ketakutan dan Meningkatkan Kepercayaan

   Setiap ketakutan memiliki akar pada peristiwa yang terjadi di masa lalu kita. Begitu kita mengadakan rekonsiliasi dengan peristiwa penyebab itu, maka kita akan dapat memilih untuk mempercayakan diri padaNya. Rekonsiliasi itu dimulai dengan menggali dari ingatan kita saat dan situasi dimana peristiwa yang menyakitkan, mengecewakan, menimbulkan amarah, dan menghasilkan rasa takut muncul. Kemudian, kita dapat menggali kembali bagaimana respons kita atas peristiwa tadi. Akhirnya kita gali juga bagaimana respons orang pada kita di saat itu.
Salah satu alat untuk melakukan itu adalah menggunakan SRH (Survey Riwayat Hidup) seperti yang disampaikan dalam buku “Transformasi: Dari Dermaga ke Laut Lepas”.
Salah satu alat yang dapat dipergunakan adalah SRH atau Skema Riwayat Hidup. Caranya seperti berikut:
     Kini, perhatikan beberapa peristiwa yang seakan merupakan kebetulan. Dapatkah Anda melihat bagaimana tidak ada kebetulan, namun suatu intervensi dari suatu kuasa yang besar untuk menolong kita? Dapatkah Anda melihat bahwa dunia bukanlah tempat yang hanya mengancam, yang memberikan kesenangan, atau suatu tempat bertanding serta suatu perjalanan? Dunia berubah-ubah tentu saja tergantung dari persepsi kita. Namun, perlu dipertegas bahwa setiap keadaan dapat menjadi suatu intervensi untuk membimbing, menolong, dan mengajar kita.



 


Menuju Rekonsiliasi

Bagaimana bila Anda adalah orang yang tengah memiliki luka atau kepahitan yang sangat mendalam akibat masa lalu sehingga cara Anda membuat SRH juga terpengaruh. Lebih jauh, dampaknya bahkan membuat Anda tidak mampu melihat pola pekerjaan dari kuasa yang besar tadi di dalam dunia, dalam diri Anda dan peristiwa-peristiwa yang lalu. Alat yang bernama SRH ini akan berguna bila Anda memiliki seorang teman bicara yang dapat dipercaya, cukup matang, dan tidak menghakimi Anda.
     Dalam hal-hal tertentu kita mungkin memerlukan pertolongan dari orang-orang yang terlatih. Sekali lagi, perlu digaris-bawahi bahwa pemahaman diri melalui metode SRH bukanlah urusan mudah dan dangkal. Hal ini merupakan suatu proses yang seringkali memakan waktu dan energi.
Ê
Kini bila Anda tetap tekun melakukan hal tadi, masuklah ke dalam tahap yang lebih sulit. Upayakan untuk membuat periodisasi seluruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu Anda.
Untuk mengenal gambar diri, seseorang terutama perlu merefleksikan apa saja yang ia dapatkan dari berbagai persitiwa yang dialaminya di masa lalu. Di sana terdapat akar atau situasi dimana ia berada kini. Gambar diri ini sangat penting karena proses kepemimpinan bukanlah proses untuk mencapai sesuatu. Proses kepemimpinan sering lebih berarti proses lebih memahami “siapa diri kita.”
Selanjutnya, karena dalam saat tertentu seorang pemimpin memiliki berbagai dimensi di dalam gambar dirinya, maka perlu diperjelas dimensi yang merupakan pusat gambar diri dan paling sering dipegangnya. Hal itu hanya akan terlihat bila masa lalunya ditelusuri dengan seksama.
Salah satu alat yang dapat dipergunakan adalah SRH atau Skema Riwayat Hidup. Caranya seperti berikut; pertama, buatlah sebuah garis panjang mendatar. Berilah angka dari nol sampai usia Anda saat ini. Kedua, tentukan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Anda. Peristiwa penting artinya, peristiwa-peristiwa tadi membekas dan memberikan pengaruh jangka panjang. Ketiga, bedakan antara peristiwa-peristiwa yang melukai dan menyenangkan atau peristiwa bernilai positif dengan meletakkannya pada sisi yang berbeda dari garis tersebut. Keempat, tafsirkan grafik yang telah dibuat tadi. Perhatikan garis-garis yang mencuat ke atas dengan tajam dan garis-garis yang menurun. Pikirkan mengapa hal itu terjadi, dan kemana arahnya. Perkirakan apa maksud dan desain sang Mahakuasa dengan hidup pemilik grafik ini. Temukanlah pola-pola yang tidak disadari dengan terus menerus melakukan langkah-langkah di atas secara berkala.
Kini, perhatikan beberapa peristiwa yang seakan merupakan kebetulan. Dapatkah Anda melihat bagaimana tidak ada kebetulan, namun suatu intervensi dari suatu kuasa yang besar untuk menolong kita? Dapatkah Anda melihat bahwa dunia bukanlah tempat yang hanya mengancam, yang memberikan kesenangan, atau suatu tempat bertanding serta suatu perjalanan? Dunia berubah-ubah tentu saja tergantung dari persepsi kita. Namun, perlu dipertegas bahwa setiap keadaan dapat menjadi suatu intervensi untuk membimbing, menolong, dan mengajar kita.
Bagaimana bila Anda adalah orang yang tengah memiliki luka batin atau kepahitan yang sangat mendalam sehingga cara Anda membuat SRH juga terpengaruh, bahkan Anda tidak mampu melihat pola pekerjaan dari kuasa yang besar tadi di dalam dunia, diri Anda dan peristiwa-peristiwa yang lalu? Alat yang bernama SRH ini akan berguna bila Anda memiliki seorang teman bicara yang dapat dipercaya, cukup matang, dan tidak menghakimi Anda. Dalam hal-hal tertentu kita memerlukan pertolongan dari orang-orang yang terlatih. Sekali lagi, perlu digaris-bawahi bahwa pemahaman diri melalui metode SRH bukanlah urusan mudah dan dangkal. Hal ini merupakan suatu proses yang seringkali memakan waktu dan energi.
Kini bila Anda tetap tekun melakukan hal tadi, masuklah ke dalam tahap yang lebih sulit. Upayakan untuk membuat periodisasi seluruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu Anda. Di dalam cerita tentang seorang yang berhasil mengubah gambar dirinya setelah ia menang berkelahi, ia dapat membagi periode hidupnya ke dalam dua tahap: tahap dimana ia hidup dalam ketakutan dan ketidak-tahuan akan potensinya, serta tahap dimana ia terbebaskan dan mulai berkembang luas.

Aplikasi

Apa respon Anda setelah mengerjakan SRH di atas dan seorang mengatakan:

1. Sebagai pemimpin Anda akan diberikan kepercayaan oleh banyak orang bila Kepercayaan Anda pada Tuhan nyata mendalam. Semakin besar kita mempercayakan diri kepadaNya semakin besar kepercayaan yang akan diberikan orang pada diri kita.

2. Pilihan lain daripada hidup ini adalah menjalani kepemimpin dengan ketakutan yang mendalam, baik takut akan kemiskinan, kegagalan, ketidakberdayaan, dosa, dan sebagainya.

3. Musuh terbesar seorang pemimpin adalah dirinya sendiri.

Diskusikanlah.

                                                                         THE PIANO LESSON


Wishing to encourage her young son's progress on the piano,
a mother took the small boy to a Paderewski concert.
After they were seated, the mother spotted a friend
in the audience and walked down the aisle to greet her.
Seizing the opportunity to explore the wonders of the concert hall,
the little boy rose and eventually explored his way through
a door marked "NO ADMITTANCE."
When the house lights dimmed and the concert was
about to begin, the mother returned to her seat and discovered
that her son was missing.
Suddenly, the curtains parted and spotlights focused
on the impressive Steinway on stage. In horror, the mother saw her
little boy sitting at the keyboard, innocently picking out
"Twinkle, Twinkle Little Star."
At that moment, the great piano master made his
entrance, quickly moved to the piano,
and whispered in the boy's ear,
"Don't quit", "Keep playing.”
Then leaning over, Paderewski reached down with his left hand
and began filling in a bass part. Soon his right arm reached
around to the other side of the child and headed a running obligatio.
Together, the old master and the young novice transformed
a frightening situation into a wonderfully creative experience.
The audience was mesmerized.
That is the way it is with God. What we can accomplish on our own is hardly note-worthy. We try our best, but the results are not exactly graceful, flowing music, but with the hand of the Master, our life's work truly can be beautiful.
Next time you set out to accomplish
great feats, listen carefully.
You can hear the voice of the Master, whispering in your ear,
"Don't quit."
"Keep playing."
Feel His loving arms around you. Know that His strong hands are playing
the concerto of your life. Remember, God does not call the equipped,
He equips the called. Your worst days are never so bad that you are
beyond the reach of God's grace. And your best days are never so good
that you are beyond the need of God's grace.

4. Dalam peran hidup yang mana sering Anda mengalami ketakutan? Ketakutan yang bagaimana?
Keluarga:
Pekerjaan:
Hubungan interpersonal:
Diri Anda sendiri:
Gerejawi:
Di masyarakat:
5. Apa tindakan Anda untuk ketakutan Anda?
6. Apa dampak dari tindakan tadi?
7. Apa dampak dari ketakutan tadi dalam hubungan Anda dengan Tuhan?
8. Renungkan dan diskusikan pernyataan terakhir ini:
Fear keeps us from leading a meaningful life and having a meaningful relationships.
CATATAN PRIBADI:
Apa yang akan Aku ubah setelah proses belajar ini :

Comments

Popular posts from this blog

Robert Kiyosaki Explains Why MLM Is “The Perfect Business”

2 kunci penting dalam hidup manusia

BERPIKIR SEBALIKNYA